Thursday, March 6, 2008

BULAN SURO: Bulan Penuh Kesialan?

Kamis, 17 Januari 2008

Bulan suro. Nama ini begitu populer di kalangan orang Jawa, meskipun tak menutup kemungkinan banyak penduduk Indonesia lain yang mengenalnya. Bulan yang dinamakan Suro ini, tak lain adalah Muharram menurut kalender Islam. Bulan ini memiliki makna yang sangat penting terhadap masyarakat Jawa -atau sebagian mereka- khususnya terkait dengan tradisi yang berlaku.

Suatu yang dapat dilihat ketika bulan ini tiba adalah masih banyaknya keyakinan di tengah masyarakat bahwa bulan Muharram (Suro) adalah bulan keramat (bulan penuh kesialan). Sehingga sebagian mereka tidak berani untuk mengadakan hajatan seperti pernikahan. Menurut keyakinan mereka, bila hal ini tidak diindahkan akan menimbulkan petaka dan kesialan.

Ada berbagai tradisi yang dilakukan untuk menghindari kesialan tersebut. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan.

Itulah sebagian keyakinan masyarakat tatkala bulan Muharram (Suro) datang. Namun, kita sebagai seorang muslim, alangkah baiknya jika meninjau ulang keyakinan tersebut, apakah betul sudah sesuai dengan perkataan Allah dan Rasul-Nya. "Kepada-Nya lah kita bertawakkal dan kepada-Nya lah kita mengembalikan segala urusan." (QS. Asy-Syuura [42] : 10)

Bulan Muharram Termasuk Bulan Suci

Dalam agama ini, bulan Muharram, yang dikenal oleh Masyarakat Jawa dengan bulan Suro, merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram (baca: bulan suci). Lihatlah firman Allah ta'ala berikut:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (QS. At Taubah [9] : 36)

Lalu apa empat bulan yang suci tersebut? Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

... السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

"... satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan suci. Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo'dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir, ed) dan Sya'ban." (HR. Bukhari no. 3025)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah: (1) Dzulqo'dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; (4) Sya'ban. Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram?

Al Qodhi Abu Ya'la rahimahullah mengatakan, "Dinamakan haram karena di dalamnya ada dua makna. Pertama, karena diharamkan pembunuhan pada bulan tersebut. Orang-orang Jahiliyyah juga telah meyakini demikian. Kedua, karena pelarangan untuk melakukan berbagai perbuatan haram pada bulan tersebut lebih keras dari pada bulan-bulan lainnya." (Lihat Zadul Masir, Ibnul Jauziy)

Bulan Muharram Disebut Bulan Allah

Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

"Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam." (HR. Muslim no. 2812)

Lihatlah pada hadits tersebut bulan Muharram dikatakan sebagai 'syahrullah' (bulan Allah) hal ini menunjukkan bahwa bulan tersebut memiliki kemuliaan. Sebagaimana juga Masjidil Haram disebut Baitullah (rumah Allah) karena masjid tersebut memiliki kemuliaan daripada masjid-masjid lainnya. (Lihat Faidul Qodir, 2/53, dinukil dari perkataan Az Zamakhsariy)

Lalu Kenapa Muharram Disebut Bulan Allah (syahrullah)?

Nama Muharram ini adalah nama Islami, berbeda dengan nama bulan-bulan lainnya. Bulan lainnya (selain Muharram) masih menggunakan nama seperti pada masa jahiliyyah dahulu. Pada masa jahiliyah, Muharram disebut dengan Shafar Al Awwal (Shafar yang pertama) sedangkan bulan sesudahnya (yang dikenal dengan Shafar pada masa Islam) disebut dengan Shafar Ats Tsani (Shafar yang kedua). Pada masa Islam, Allah menamakan Muharram dengan disandarkan pada-Nya dengan disebut sebagai syahrullah (bulan Allah). (Lihat Ad Dibaj 'ala Muslim, 3/251, Jalaludin As Suyuthi)

Al Hafizh Abul Fadhl Al 'Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, "Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?". Beliau rahimahullah menjawab, "Disebut demikian karena di dalamnya diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) adalah untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah ta'ala kecuali bulan Allah - Muharram. (Dinukil dari Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa'i, 3/206)

Bulan Muharram Dikatakan Membawa Berbagai Musibah

Dari penjelasan di atas, kita mengetahui dengan jelas bahwasanya bulan Muharram (bulan Suro) adalah bulan suci hingga diharamkan berbagai keharaman pada bulan itu. Juga disebut sebagai syahrullah (bulan Allah) yang menunjukkan bahwa bulan tersebut adalah bulan yang mulia.

Lalu apakah sikap orang-orang yang menyatakan bulan tersebut sebagai bulan penuh musibah (petaka) adalah benar?

Jika kita melihat dari dalil-dalil sebelumnya, tentu saja perbuatan ini tidaklah benar karena kok bulan suci dan mulia malah mendatangkan bencana. Ini suatu hal yang tidak mungkin. Allah sendiri telah mencela keadaan orang-orang musyrik yang menyatakan bahwa yang mencelakakan dan membinasakan mereka adalah waktu. Allah mencela sikap mereka sebagaimana pada firman-Nya:

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

"Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja." (QS. Al Jatsiyah [45] : 24)

Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul 'larangan mencela waktu (ad-dahr)'. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

"Allah 'Azza wa Jalla berfirman, 'Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang." (HR. Muslim no. 6000)

Dalam lafazh yang lain, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَقُولُ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَلاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَإِنِّى أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ فَإِذَا شِئْتُ قَبَضْتُهُمَا

"Allah 'Azza wa Jalla berfirman, 'Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan 'Ya khoybah dahr' [ungkapan mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan 'Ya khoybah dahr' (dalam rangka mencela waktu, pen). Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam keduanya." (HR. Muslim no. 6001)

An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan 'Ya khoybah dahr' (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.

Maka lihatlah dalil-dalil yang ada, dari situ terlihat bahwasanya kita dilarang mencela waktu atau mengatakan bahwa waktu tersebut yang mencelakakan kita. Kenapa demikian? Lihatlah dalam hadits-hadits di atas, terlihat bahwa Allah-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah 'Azza wa Jalla. Maka mencela masa bisa terjatuh dalam dosa bahkan bisa termasuk syirik akbar. Perhatikanlah rincian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid 'ala Kitabit Tauhid berikut.

Mencela Waktu ituTerbagi Menjadi Tiga Macam:

Pertama; jika dimaksudkan hanya sekedar berita dan bukanlah celaan, ini diperbolehkan. Misalnya ucapan, "Kita sangat kelelahan karena hari ini sangat panas" atau semacamnya. Hal ini diperbolehkan karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada perkataan Nabi Luth 'alaihis salam, "Ini adalah hari yang amat sulit." (QS. Hud [11] : 77)

Kedua; jika menganggap bahwa waktulah pelaku yaitu yang membolak-balikkan perkara menjadi baik dan buruk, ini termasuk syirik akbar. Hal ini berarti meyakini bahwa ada pencipta bersama Allah disebabkan menyandarkan berbagai kejadian pada selain Allah. Barang siapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia telah kafir. Sebagaimana seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka dia juga kafir.

Ketiga; jika mencela waktu karena waktu adalah tempat terjadinya perkara yang di benci, maka ini adalah haram, dan tidak sampai derajat syirik. Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias dungu) yang menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela waktu, sama saja dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara langsung. -Demikianlah rincian dari beliau rahimahullah yang sengaja kami ringkas-

Maka perhatikanlah saudaraku, mengatakan bahwa waktu -termasuk bulan Muharram- adalah bulan sial atau celaka, ini sama saja dengan mencela waktu. Mencela waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan semacam ini. Ingatlah di sisi kita semua selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kalian. Allah ta'ala berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16) إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17)

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan para malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri." (QS. Qaaf [50] : 16-17)

Merasa Sial pada Bulan Muharram

Sebagian orang juga selalu menganggap sial dengan bulan Suro ini. Ada sebagian orang tua yang sangat mengkhawatirkan anaknya seperti melarang jangan ngebut-ngebutan pada bulan ini karena bulan ini adalah bulan penuh musibah (petaka). Sampai-sampai ada juga yang dilarang untuk menikah pada bulan ini, karena khawatir akan terjadi sesuatu pada bahtera rumah tangganya kelak.

Inilah sedikit dari berbagai anggapan sial di tengah masyarakat tatkala berada di bulan Suro. Tetapi sebaiknya kita menilik kembali keyakinan semacam ini berdasarkan perkataan Allah dan Rasul-Nya.

Lihatlah firman Allah ta'ala:

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

"Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. Al A'raaf [7] : 131)

Perhatikanlah ayat ini. Ketika Fir'aun dan pengikutnya mendapatkan hujan, kesuburan, rizki yang melimpah dan keselamatan, mereka menyatakan bahwa itu adalah karena mereka memang pantas untuk mendapatkannya. Mereka tidaklah mengakui bahwa limpahan nikmat tersebut berasal dari Allah dan mensyukuri-Nya.

Namun, tatkala hujan tidak turun, kekeringan dan berbagai bencana datang, mereka menyatakan bahwa ini semua adalah kesialan dari Musa dan pengikutnya.

Begitulah juga kelakuan orang Arab dahulu. Tatkala ingin melakukan sesuatu, terlebih dahulu mereka menggertak (membentak) buruk. Jika burung tersebut terbang ke arah kiri, ini pertanda sial. Namun, jika burung terbang ke arah kanan, ini pertanda baik (berkah).

Lihatlah, terakhir Allah ta'ala katakan bahwa kesialan yang menimpa mereka adalah ketetapan dari Allah. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ahli tafsir Qur'an, mengatakan maksud ayat terakhir ini adalah bahwa apa saja yang menimpa mereka berasal dari Allah. (Lihatlah penjelasan ini dalam Zadul Masir pada tafsir surat Al A'raaf ayat 131)

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menyatakan bahwa beranggapan sial seperti ini termasuk kesyirikan. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ - ثَلاَثًا - وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

"Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda), tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal." (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid - Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)

Kesimpulannya, menganggap sial terhadap sesuatu termasuk menganggap sial karena bertemu dengan bulan tertentu seperti bulan Muharram (Suro) adalah terlarang bahkan termasuk kesyirikan. Ingatlah setiap kesialan atau musibah yang menimpa bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah ta'ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

Tertimpa Musibah, Disebabkan Karena Maksiat

Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah yang dibenci, hendaknya dia mengambil pelajaran bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah tersebut begitu saja, pasti ada sebab yaitu karena dosa dan maksiat. Perhatikanlah firman Allah 'Azza wa Jalla:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri." (QS. Asy Syuraa [42] : 30)

Maka hendaklah seorang mukmin bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah ta'ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dilakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah ta'ala. (Lihat I'anatul Mustafid dan Syarh Masa'il Jahiliyyah, Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhahullah)

Isilah Bulan Muharram dengan Puasa

Sebagai penutup tulisan ini, kami mengajak kaum muslimin sekalian untuk mengisi bulan Muharram dengan melakukan berpuasa.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

"Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam." (HR. Muslim no. 2812)

Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari 'Asyura' yaitu pada tanggal 10 Muharram karena bepuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata:

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ � يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ �. قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ � يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ �

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arofah? Beliau menjawab, "Puasa Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa 'Asyuraa'? Beliau menjawab,"Puasa 'Asyura' akan menghapus dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim no. 2804)

Lebih Baik lagi Jika Berpuasa pula pada Hari Sebelumnya yaitu Tanggal 9 Muharram.

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata mengenai puasa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari 'Asyura'. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu. Lalu para sahabat mengatakan, "Ya Rasulullah, hari 'Asyura' adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللَّهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

"Kalau begitu, tahun depan -jika Allah menghendaki- kita akan puasa pada hari kesembilan (Muharram)". Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan, "Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sudah meninggal dunia." (HR. Muslim no. 2722)

Mayoritas ulama berpendapat bahwa 'Asyura' adalah tanggal sepuluh pada bulan Muharram bukan tanggal sembilan, yaitu Sa'id bin Al Musayyib, Al Hasan Al Bashri, Malik, Ahmad, Ishaq, Kholaiq. Inilah yang terlihat jelas pada hadits.

Imam Syafi'i dan sahabatnya, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan. ...

Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bepuasa pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan, agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits tadi terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan 'Asyura' (hari kesepuluh). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a'lam. (Lihat Syarh An Nawawi 'ala Muslim, 4/121)

Catatan Penting:
Sebagian ulama berpendapat tentang dianjurkannya puasa pada hari ke-9, 10, dan 11. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

"Puasalah pada hari 'Asyura' (10 Muharram, pen) dan selisilah Yahudi. Puasalah pada hari sebelumnya atau hari sesudahnya."

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Khuzaimah, Ibnu 'Adiy, Al Baihaqiy, Al Bazzar, Ath Thohawiy dan Al Hamidiy, namun sanadnya dho'if (lemah). Di dalam sanad tersebut terdapat Ibnu Abu Laila -yang nama aslinya Muhammad bin Abdur Rahman-, hafalannya dinilai jelek. Juga terdapat Daud bin 'Ali. Dia tidak dikatakan tsiqoh kecuali oleh Ibnu Hibban. Beliau berkata, "Daud kadang yukhti' (keliru)." Adz Dzahabiy mengatakan bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah (dalil).

Namun, terdapat hadits yang diriwayatkan Abdur Rozaq, Ath Thohawiy dalam Ma'anil Atsar, dan juga Al Baihaqi, dari jalan Ibnu Juraij dari 'Atho' dari Ibnu Abbas. Beliau radhiyallahu 'anhuma berkata:

خَالِفُوْا اليَهُوْدَ وَصُوْمُوْا التَّاسِعَ وَالعَاشِرَ

"Selisilah Yahudi. Puasalah pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram."

Sanad hadits ini adalah shohih, namun diriwayatkan secara mauquf (hanya sampai pada sahabat).

(Dinukil dari catatan kaki pada Zadul Ma'ad II/60 (Darul Fikr) yang ditahqiq oleh Syaikh Abdul Qodir Arfan).

Namun, hal ini bukan berarti berpuasa pada hari ke-11 Muharram tidaklah dianjurkan. Namun dalam rangka kehati-hatian penentuan awal Muharram, maka kita dianjurkan pula berpuasa selama tiga hari yaitu 9, 10 dan 11 Muharram.

Dalam Al Mughni, 6/195, Imam Ahmad mengatakan, "Jika ragu mengenai penentuan tanggal 1 Muharram, maka boleh berpuasa pada tiga hari (hari 9, 10, dan 11 Muharram, pen). Hal ini dilakukan agar menjadi yakin telah berpuasa pada hari ke-9 dan 10."

Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakan puasa pada bulan Muharram. Insya Allah pada tahun ini, puasa 'Asyura' jatuh pada tanggal 19 Januari 2008, dan lebih baik lagi jika kita berpuasa pada hari sebelumnya untuk menyelisihi Yahudi, atau hari sesudahnya dalam rangka menghilangkan keraguan dalam penentuan awal Muharram. Wallahu a'lam bish showab.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin dan dapat memperbaiki keadaan mereka.

Allahumman fa'ana bima 'alamtanaa, wa 'alimnaa maa yanfa'una wa zidna 'ilma. Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam.

***

Disusun oleh: Penuntut Ilmu di Ma'had Al 'Ilmi Yogyakarta
Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja'ah: Ustadz Aris Munandar, S.S.

Selesai disusun di Panggang, Gunung Kidul
Pada Malam Satu Suro 1429 H
Bertepatan dengan 9 Januari 2008
Update Terakhir ( Kamis, 17 Januari 2008
download dari : www.muslim.or.id

PEDIHNYA SIKSA NERAKA

ASSALAMUALAIKUM WAROHMATULLAHI WABAROKATUH.

الحمد لله ذي العز المجيد، والبطش الشديد، المبدئ المعيد، الفعال لما يريد، المنتقم ممن عصاه بالنار بعد الإنذار والوعيد، المكرم لمن خافه بدار لهم فيها من كل خير مزيد، فسبحان من قسم خلقه قسمين وجعلهم فريقين فمنهم شقي وسعيد، من عمل صالحا فلنفسه ومن أساء فعليها وما ربك بظلام للعبيد ، أما بعد:
Berikut ini ringkasan pengajian Bahrain Jumat 7 Desember 2007 dengan tema "Pedihnya siksa neraka" semoga menjadi peringatan dan pelajaran bagi kita semua. Amin.

Definisi neraka:

Neraka di dalam bahasa arab disebut (النار ) "An Naar" yang artinya: Api. Neraka dinamakan (النار ) "An Naar": Api, karena penghuni neraka disediakan bagi mereka tempat tinggal yang terbuat dari api, pakaian dari api dan merekapun disiksa dengan api. Allah Ta'ala berfirman:

فأنذرتكم نارا تلظى، لا يصلاها إلا الأشقى
"Maka Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala, tidak ada yang masuk ke dalamnya melainkan orang yang paling celaka. (QS. Al Lail:14-15).

Dimanakah letak neraka?

Sebagaimana surga adalah tempat orang-orang yang mulia, maka dia berada ditempat yang mulai dan tinggi, yaitu di langit yang ketujuh. Namun nereka adalah tempat orang-orang yang hina dan rendah, maka dia berada di tempat yang paling rendah, yaitu di bagian bumi yang paling bawah. Allah berfirman:
ثم رددناه أسفل سافلين
“Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (QS. At Tiin:5).

Dalamnya neraka:

Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu anhu ia berkata: “Dahulu ketika kami besama Rosulullah shallallahu alaihi wasallam, kami mendengar suara sesuatu yang jatuh. Beliau berkata: Tahukah kalian suara apakah ini? Kamipun berkata: Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Beliau bersabda:

هذا حجر أرسل في جهنم منذ سبعين خريفا فالآن انتهى قعرها
“Ini adalah suara batu yang dilempar dari permukaan neraka jahannam semenjak tujuh puluh tahun yang lalu, sekarang baru sampai ke dasarnya.” (HR. Muslim:2844).

Panasnya neraka:

Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu anhu berkata: Dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ناركم هذه التي يوقد بنو آدم جزء واحد من سبعين جزءا من نار جهنم، قالوا: والله إن كانت لكافية، قال: إنها فضلت عليها بتسعة وستين جزءا كلهن مثل حرها
“Api kalian ini yang digunakan manusia untuk menyalakan sesuatu adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian bagian (panasnya) api neraka. Para Sahabat berkata: Demi Allah sesungguhnya api ini sudah cukup (untuk menyiksa). Beliau bersabda: Sesungguhnya api neraka itu lebih panas dari api dunia enam puluh sembilan kali semua panasnya sama.” (HR. Bukhori:3265, Muslim:2843).

Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu anhu berkata: Dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
اشتكت النار إلى ربها، فقالت: يا رب أكل بعضي بعضا فنفسني، فأذن لها نفسين: نفس في الشتاء ونفس في الصيف، فأشد ما تجيدون من الحر من سمومها، وأشد ما تجيدون من البرد من زمهررها
“Nereka mengadu kepada Tuhannya, lalu ia berkata: Ya Robbi bagian tubuhku saling memakan antara satu dan yang lainnya, maka berikanlah aku nafas. Lalu Allah memberikannya dua nafas; Satu nafas di musim dingin dan satu nafas di musim panas. Maka kalian menjumpai panas yang sangat luar biasa dari teriknya( yang amat panas) dan kalian menjumpai dingin yang sangat luar biasa dari udaranya (yang amat dingin) .” (HR. Bukhori:536, Muslim:617).

Besarnya tubuh penghuni neraka:

Tubuh penghuni neraka sangat besar, namun besarnya tubuh mereka bukanlah sesuatu yang dibanggakan, karena tubuh mereka dibesarkan agar mereka benar-benar merasakan siksa. Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu anhu berkata: Dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ما بين منكبي الكافر مسيرة ثلاثة أيام للراكب السريع
“Jarak antara kedua pundak orang kafir (di neraka) seperti jarak orang yang menaiki kendaraan dengan cepat selama tiga hari.” (HR. Bukhori:5661, Muslim:2582).

Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu anhu berkata: Dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ضرس الكافر أو ناب الكافر مثل أحد، وغلظ جلده مسيرة ثلاثة أيام
“(Besar) gigi geraham orang kafir atau gigi taringnya (di neraka) seperti gunung uhud, dan tebal kulitnya jarak perjalanan tiga hari.” (HR. Muslim:2851).

Kulit mereka yang begitu tebal dibakar dengan api yang menyala-nyala hingga kulit itupun hangus, apabila kulit itu hangus Allah menggantinya dengan kulit yang lain, Allah Ta’ala berfirman:

{إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُواْ الْعَذَابَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمًا} (56) سورة النساء

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan kedalam neraka. Setiap kulit tubuh mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan adzab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisa’:56).

Buruknya rupa penghuni neraka:

Sebagaimana mereka adalah manusia yang paling buruk amalannya di dunia, Allah merubah rupa mereka di akhirat dengan rupa yang buruk, hitam dan berdebu. Allah Ta'ala berifrman:


ُفَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكْفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ} (106) سورة آل عمران


"Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu." (QS. Ali Imron:106). Allah juga berfirman:

ووجوه يومئذ عليها غبرة، ترهقها قترة، أولئك هم الكفرة الفجرة ))
"Dan banyak muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka." (QS. 'Abasa:40-42).

Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda mengkisahkan Nabi Ibrohim alaihissalam ketika meminta syafaat untuk bapaknya pada hari kiamat, namun syafaatnya ditolak karena bapaknya adalah penyembah patung, lalu dikatakan kepada Nabi Ibrohim:

يا إبراهيم ! انظر ما وراءك، فإذا هو بذيخ ملطخ، فيؤخذ بقوائمه ويلقى في النار
"Hai Ibrohim! Lihatlah kebelakang, tiba-tiba dia melihat seekor heyna jantan yang berlumuran darah, lalu diambil tubuhnya dan dilemparkan ke neraka." (HR. Bukhori:3350).

Pakaian penghuni neraka:

Mereka diberi pakaian, namun pakaian mereka tidak nyaman, mereka diberi pakaian namun pakaian tersebut tidak dapat melindungi tubuh mereka, malah pakaian itu membakar tubuh mereka sendiri; karena pakaian mereka terbuat dari api. Allah Ta’ala berfirman:
فالذين كفروا قطعت لهم ثياب من نار
“Dan orang-orang yang kafir, Allah jadikan bagi mereka baju yang terbuat dari api.” (QS. Al Hajj:19).

Makanan dan minuman penghuni neraka:

Mereka merasakan lapar yang luar biasa, namun mereka tiada mendapatkan makanan yang mengeyangkan dan menghilangkan rasa lapar, Allah Ta’ala befirman:

ليس لهم طعام إلا من ضريع، لا يسمن ولا يغني من جوع

"Mereka tiada memperoleh makanan, selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak menghilangka lapar." (QS. Al Ghaasyiyah:6-7).
Allah juga berfirman:
إن شجرة الزقوم، طعام الأثيم، كالمهل يغلي في البطون كغلي الحميم
"Sesungguhnya pohon zaqqum itu, makanan orang yang banyak berdosa, seperti kotoran yang mendidih di dalam perut, seprti mendidihnya air yang sangat panas." (QS. Ad Dukhaan:43-46).
Dari Ibnu Abbas rodhiyallahu anhuma berkata: Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لو أن قطرة من الزقوم قطرت في دار الدنيا لأفسدت على أهل الدنيا معايشهم، فكيف بمن تكون طعامه ؟
“Sekiranya satu tetes dari Zaqqum menetes ke dunia, niscaya akan mengancurkan kehidupan penduduk dunia, lalu bagaimana dengan orang yang memakannya?!”. (HR. Ahmad, Tirmidzi, lihat Shohihul Jami’:525).

Mereka kepanasan dan merasakan haus yang luar biasa, namun mereka tidak mendapatkan udara sejuk yang menghilangkan panasnya neraka jahannam dan tidak pula mendapatkan air segar yang menghilangkan rasa haus. Allah Ta’ala berfirman:
لا يذوقون فيها بردا ولا شرابا، إلا حميما وغساقا
“Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak pula (mendapat) minuman, selain air mendidih dan nanah.” (QS. An Naba’:24-25)

Hamiman (حميما ): Air mendidih yang sangat panas yang menghanguskan muka dan menghancurkan segala yang ada di perut. Gossaqon (غساقا ): Minuman yang terbuat dari nanah, darah, keringat dan luka penguhuni neraka, minuman tersebut sangat dingin dan berbau busuk. Allah telah berfirman:
من ورائه جهنم ويسقى من ماء صديد يتجرعه ولا يكاد يسيغه ويأتيه الموت من كل مكان وما هو بميت ومن ورائه عذاب غليظ
“Di hadapannya (yaitu orang yang sombong) ada neraka jahannam dan dia akan diberi minuman dengan air nanah, diminumnya air dari nanah itu, dan hampir dia tidak bisa menelannya dan datanglah maut kepadanya dari segala penjuru, tetapi dia juga tidak mati; dan di hadapannya masih ada azab yang berat.”(QS. Ibrahim: 16-17).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لو أن دلوا من غساق يهراق في الدنيا لأنتن أهل الدنيا
“Sekiranya timba yang berisi Gossaq dituangkan ke dunia, niscaya menjadikan busuk penduduk dunia.”(HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rohimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala meniadakan kesejukan yang menjadikan segar tubuh bagian luar, dan juga meniadakan minuman yang menjadikan dingin tubuh bagian dalam, yang demikian itu karena penghuni neraka apabila kehausan mereka meminta minum, sebagaimana Allah berfirman:
وإن يستغيثوا يغاثوا بماء كالمهل يشوي الوجوه بئس الشراب وساءت مرتفقا

“Dan apabila mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”(QS. Al Kahfi: 29).

Apakah air yang yang panasnya seperti besi mendidih, apabila didekatkan ke wajah dapat menghanguskan wajah tersebut, apakah air itu bermanfaat bagi peminumnya?
Allah juga berfirman:
يصبّ من فوق رؤوسهم الحميم يصهر ما في بطونهم والجلود
“Disiramkan air yang mendidih dari atas kepala mereka, dengan air itu dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka).”(QS. Al Hajj: 19-20).
Apa yang ada di dalam perut mereka adalah usus, sedangkan kulit adalah tubuh bagian luar. Maka barangsiapa yang minumannya seperti itu sungguh mereka tidak merasakan kesejukan dan tidak pula mendapatkan minuman yang menghilangkan panas didalam tubuhnya.” (dinukil dari Tafsir Juz Amma Surat An Naba’ ayat:24-25, karya: Syaikh Muhammad Al Utsaimin, dengan sedikit ringkasan).

Penghuni neraka ingin menebus siksa neraka dengan harta dan anak mereka:

Mereka ingin menebus siksa dengan harta benda yang mereka miliki, namun Allah menolak tebusan mereka, Allah Ta’ala befirman:
إن الذين كفروا لو أن لهم ما في الأرض جميعا ومثله معه ليفتدوا به من عذاب يوم القيامة ما تقبل منهم ولهم عذاب أليم
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu pula untuk menebus diri mereka dengan itu dari adzab hari kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka mendapatkan adzab yang pedih." (QS. Al Maaidah:36).

Bahkan mereka ingin menebus siksa dengan anak-anak mereka, istri mereka, saudara mereka, keluarga mereka, namun semua itu tidak diterima. Allah Ta’ala berfirman:


"Orang yang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari adzab hari itu dengan anak-anaknya, isrtinya dan saudaranya, dan familinya yang melindunginya (di dunia), dan orang-orang diatas bumi seluruhnya, kemudian mereka (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya. Sekali-kali tidak dapat. Sesugguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak. (QS. Al Ma'aarij:11-15).

Doa penghuni neraka:

Penghuni neraka berharap dan berdoa agar mereka dikeluarkan dari neraka, dihidupkan kembali ke dunia untuk beramal sholih, sebagaimana Allah berfirman:

ربنا أخرجنا منها فإن عدنا فإنا ظالمون قال اخسئوا فيها ولا تكلمون
“Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami darinya (kembalikan kami kedunia untuk beramal sholih), maka jika kami kembali (kepada kekafiran), sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” Allah berfirman: “Tinggallah di dalamnya dengan hina, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku.”(QS. Al Mu’minuun: 107-108). Lalu mereka meminta kepada Malik penjaga neraka supaya Allah mematikan mereka, sebagaimana Allah berfirman:

ونادوا يا مالك ليقض علينا ربك قال إنكم ماكثون
“Mereka berseru: “Wahai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja, Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu tetap tinggal (di neraka ini).”(QS. Az Zukhruf: 77).

Kemudian mereka meminta keringanan agar tidak disiksa satu hari saja, sebagaimana Allah berfirman:
(( وقال الذين في النار لخزنة جهنم ادعوا ربكم يخفف عنا يوما من العذاب قالوا أولم تك تأتيكم رسلكم بالبينات قالوا بلى قالول فادعوا وما دعاء الكافرين إلا في ضلال ))
“Dan orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada kepada penjaga-penjaga jahannam: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu supaya Dia meringankan azab dari kami barang sehari”. Penjaga Jahannam berkata: “Bukankah telah datang kepada kamu rosul-rosulmu denagn membawa keterangan?” Mereka menjawab: “Benar sudah datang”. Penjaga jahannam berkata: “Berdoalah kamu”. Dan doa-doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka.”(QS. Al Mu’min: 49-50).
Lalu turunlah ayat kepada penghuni neraka yang memutuskan segala harapan mereka, Allah berfirman:
فذوقوا فلن نزيدكم إلا عذابا
“Karena itu rasakanlah. Dan Kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain daripada adzab.” (QS. An Naba’:30).

Syaikh As Sa’dy rohimahullah berkata: ( فذوقوا ) : Maka rasakanlah olehmu wahai para pendusta siksaan yang pedih lagi menghinakan dan kekal, ( فلن نزيدكم إلا عذابا ) : Setiap waktu dan setiap saat bertambah siksaan mereka. Ayat ini adalah ayat yang paling keras yang menjelaskan pedihnya siksaan terhadap penghuni neraka –semoga Allah melindungi kita darinya-.” (lihat Tafsir As Sa'dy Juz Amma Surat An Naba':30).

Penyesalan dan tangisan penghuni neraka:

Mereka menyesal, benar mereka menyesal namun penyesalan mereka tiada lagi artinya. Mereka menangis, sungguh mereka benar-benar menangis, karena mereka mengalami penderitaan yang tiada seorangpun yang sabar menahannya. Bahkan mereka banyak menangis, sampai-sampai air mata mereka bisa dilalui kapal karena banyaknya. Mereka mengangis dan terus menangis sehingga apabila air mata mereka habis, mereka menangis dengan mengeluarkan darah sebagai pengganti air mata. Allah Ta’ala berfirman:

فليضحكوا قليلا وليبكوا كثيرا جزاء بما كانوا يعملون
"Maka hendaklah mereka tertawa sedikit (di dunia) dan menangis banyak (di akhirat), sebgai balasan dari apa yang selalu mereka kerjakan." (QS. At Taubah:82).

Dari Abu Musa Al Asy’ari rodhiyallahu anhu, dari Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إن أهل النار ليبكون حتى لو أجريت السفن في دموعهم لجرت، وإنهم ليبكون الدم –يعني- مكان الدمع
"Sesungguhnya penghuni neraka mereka benar-benar menangis, sampai-sampai kalau sekiranya kapal-kapal dijalankan diatas air mata mereka niscaya kapal-kapal tersebut berjalan, sesungguhnya mereka menangis mengeluarkan darah sebagai ganti air mata." (HR. Hakim, di hasankan Syaikh Albani Shohihu Jami':2032 dan lihat Ash Shohihah:1679).

Kematian disembelih di antara Surga dan Nereka:

Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Di datangkan kematian seakan-akan ia adalah seekor domba, lalu di berhentikan di antara surga dan neraka, dikatakan kepada penghuni surga: Wahai penghuni surga tahukah kalian ini? Merekapun berkumpul, melihat dan berkata: Ya ini adalah kematian. Kemudian dikatakan kepada penghuni neraka: Wahai penghuni neraka tahukah kalian ini? Merekapun berkumpul, melihat dan berkata: Ya ini adalah kematian. Kemudian diperintahkan kepada kematian lalu iapun disembelih. Kemudian dikatakan: Wahai penghuni surga kekal dan tidak ada lagi kematian, wahai penghuni neraka kekal dan tidak ada lagi kematian." (Muttafaqun Alaih).

Peringatan dari siksa neraka:

Wahai hamba Allah ingatlah Tuhanmu, murnikanlah ibadah hanya kepada-Nya, janganlah engkau menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Jagalah sholatmu dan janganlah engkau termasuk orang yang menyia-nyiakan sholat. Sadarlah hidup ini hanya sementara, maka janganlah engkau lalai dengannya. Bertaubatlah dari segala dosa dan jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka, Allah Ta’ala berfirman:

يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar; yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At Tahrim:6).

Ya Allah tunjukkan kami ke jalan-Mu yang lurus, yaitu jalan yang mengantrakan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari siksa api neraka.

ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
“Wahai Tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan selamatkan kami dari siksa api neraka.” Amin.

WASSALAMUALAIKUM WAROHMATULLAHI WABAROKATUH.

Ditulis hamba Allah yang faqir kepada ampunan-Nya: Ahmad Jamil bin Alim bin Hamid.

Dinukil dari Muqoddimah kitab At Takhwif Minan Naar" karya Ibnu Rojab Al Hambali hal-9.

TAMASYA KE TAMAN SYURGA

بسم الله الرحمن الرحيم

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على النبي الأمين وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد:
Berikut ini ringkasan Pengajian Bahrain Jumuah 23 November 2007, materi: “Tamasya ke Taman Syurga”, mudah-mudahan bermanfaat terutama bagi rekan yang tidak hadir di pengajian.

Definisi Surga secara bahasa:

Surga dalam bahasa arab disebut (جَنَّةٌ ) “Jannatun” yang artinya: Taman yang di dalamnya terdapat pemandangan yang indah dan pepohonan yang rindang. Surga dinamakan (جَنَّةٌ ) “Jannatun” karena di dalam surga terdapat pemandangan yang sangat indah dipandang dan juga terdapat pepohonan yang rindang.

Dimanakah letak surga?

Surga berada di tempat yang tinggi yaitu berada dilangit yang ketujuh yang bernama “Sidrotul Muntaha”. Allah berfirman:

(( عند سدرة المنتهى ، عندها جنة المأوى ))
“(Yaitu) di Sidrotul Muntaha, di dekatnya terdapat surga tempat kembali.” (QS. An Najm:14-15).

Namun sebaliknya nereka berada di tempat yang paling rendah, yaitu di bagian bumi yang paling bawah. Allah berfirman:

(( ثم رددناه أسفل سافلين ))
“Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (QS. At Tiin:5).

Luasnya Surga:

Surga sangat luas seperti luasnya langit dan bumi. Allah berfirman:

(( وسارعوا إلى مغفرة من ربكم وجنة عرضها السماوات والأرض أعدت للمتقين ))
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron:133).

Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

(( والذي نفس محمد بيده إن ما بين المصراعين من مصاريع الجنة لكما بين مكة وهجر ))
“Demi jiwa Muhammad yang berada di Tangan-Nya, sesungguhnya jarak antara dua sisi pintu dari pntu-pintu surga seperti jarak antara Makkah dan Hajar (Kota dekat Dammam dan Ahsa’). (HR. Bukhori&Muslim).

Keindahan Surga:

Keindahan surga sangat luar biasa sehingga tidak bisa dijangkau dengan angan-angan manusia. Allah berfirman:

(( فلا تعلم نفس ما أخفي لهم من قرة أعين جزاء بما كانوا يعملون ))
“Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam keni’matan) yang menyejukkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. As Sajdah:17).

Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Allah Azza Wa Jalla berfirman:
(( أعددت لعبادي الصالحين ما لا عين رأت ولا أذن سمعت ولا خطر على قلب بشر ))
“ِAku persiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang sholih keni’matan (disurga) yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pula terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dihati manusia.” (HR Bukhori:3244, Muslim:2824).

Tanah, kerikil, batu bata di Surga:

Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

(( لبنة ذهب ولبنة فضة وملاطها المسك وحصباؤها اللؤلؤ والياقوت وترابها الزعفران ))
“Batu bata (di surga) dari emas dan batu bata dari perak, lumpur (untuk mengecat) dindingnya terbuat dari minyak kesturi, kerikilnya terbuat dari mutiara dan intan, tanahnya terbuat dari minyak za’faron.” (HR. Ahmad).

Rumah dan istana di Surga:

Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

(( دخلت الجنة فإذا أنا بقصر من ذهب ))
“Aku masuk surga, tiba-tiba aku melihat istana yang terbuat dari emas.” (HR. Tirmidzi).

Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

(( من قرأ قل هو الله أحد حتى يختمها عشر مرات بنى الله له قصرا في الجنة. قال عمر: إذن تكثر قصورنا يا رسول الله. فقال: الله أكثر وأطيب ))
“Barangsiapa membaca Qul Huwallahu Ahad (Surat Al Ikhlash) dan menghatamkannya sepuluh kali, maka Allah akan membangunkan baginya istana di surga. Umar berkata: Kalau begitu istana kita banyak Ya Rosulallah. Beliau bersabda: Apa-apa yang disisi Allah lebih banyak dan lebih baik.” (HR. Ahmad:4/103).

Taman dan pepohonan di Surga:

Allah berfirman:

(( وأصحاب اليمين ما أصحاب اليمين، في سدر مخضود، وطلح منضود، وظل ممدود ))
“Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. (Mereka) berada di antara pohon bidara yang tidak berduri, dan pohon pisang yang bersusun (buahnya), dan naungan yang terbentang luas.” (QS. Al Waqi’ah:27-30).

Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

(( إن في الجنة لشجرة يسير الراكب في ظلها مائة عام لا يقطعها ))
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat pohon, apabila seseorang yang berkendaraan lewat dibawah naungannya selama seratus tahun, ia tidak dapat menempuhnya.” (HR. Bukhori&Muslim).

Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

(( ما في الجنة شجرة إلا وساقها من ذهب ))
“Tidak ada pohon di surga melainkan tangkainya terbuat dari emas.” (QS. HR. Tirmidzi:2525).

Buah-buahan di Surga:

Allah berfirman:

(( وفاكهة كثيرة، لا مقطوعة ولا ممنوعة ))
“Dan buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (buahnya) dan tidak terlarang mengambilnya.” (QS. Al Waqi’ah:32-33).

(( قطوفها دانية ))
“Buah-buahannya dekat.” (QS. Al Haqqoh:23).
Ibnu Abbas rodhiyallahu anhuma berkata: “Apabila penghuni surga ingin mengambil buah-buahan surga, maka buah tersebut turun mendekat sehingga diapun mengambil apa saja yang ia suka.” Baro’ bin Azib rodhiyallahu anhuma berkata: “Mereka memetik buah dengan tidur.” (Hadil Arwah karya Ibnul Qoyyim:230-231).

Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

(( إنه عرضت علي الجنة وما فيها من الزهرة والنضرة، فتناولت منها قطفا من عنب لآتيكم به، فحيل بيني وبينه، ولو أتيتكم به لأكل منه من بين السماء والأرض لا ينقصونه ))
“Sesungguhnya pernah dinampakkan surga kepadaku, akupun melihat keindahan dan keelokan di dalamnya, lalu aku mengulurkan tanganku untuk memetik setangkai buah anggur agar aku dapat membawanya ke hadapan kalian, namun ada sesuatu yang menghalangiku darinya, kalau seandainya aku dapat membawanya kepada kalian niscaya buah tersebut cukup dimakan semua yang ada di antara langit dan bumi, serta tidak kurang.” (HR. Ahmad:352-353)

Sungai-sungai di Surga:

Allah Ta’ala berfirman:

(( مثل الجنة التي وعد المتقون فيها أنهار من ماء غير آسن وأنهار من لبن لم يتغير طعمه وأنهار من خمر لذة للشاربين وأنهار من عسل مصفى ولهم فيها من كل ثمرات من ربهم ))
“Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa, di dalamnya terdapat sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khomr yang lezat bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring, dan mereka mendapatkan di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka.” (QS. Muhammad:15).
Ibnul Qoyyim rohimahullah berkata: “Sungai-sungai tersebut mengalir di bawah kamar-kamar mereka, istana-istana mereka dan kebun-kebun mereka.” (Hadil Arwah:236).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

(( الكوثر نهر في الجنة حافتاه من ذهب، ومجراه على الدر والياقوت، تربته أطيب من المسك، وماؤه أحلى من العسل وأبيض من الثلج ))
“Al Kautsar adalah sungai di surga kedua tepinya tebuat dari emas, alirannya diatas mutiara dan permata Yaqut, tanahnya lebih harum dari minyak kesturi, airnya lebih manis daripada madu dan lebih putih daripada salju.” (HR. Tirmidzi:3361).

Makanan dan minuman Surga:

Allah berfirman:

(( مثل الجنة التي وعد المتقون تجري من تحتها الأنهار أكلها دائم وظلها ))
“Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa mengalir sungai-sungai di dalamnya, buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula).” (QS. Ar Ro’d:35).

(( وأمددناكم بفاكهة ولحم مما يشتهون ))
“Dan Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka ingini.” (QS Ath Thuur:22).

Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

(( يأكل أهل الجنة ويشربون ولا يمتخطون ولا يغوطون ولا يبولون، طعامهم جشاء كريح المسك ))
“Penghuni surga makan dan minum namun tidak mengeluarkan ingus dan tidak mengeluarkan kotoran besar dan tidak pula kencing, makanan mereka menjadi sendawa (dan keringat) baunya seperti bau minyak kesturi.” (HR. Muslim:2835).

Baju penghuni Surga:

Allah berfirman:

(( إن المتقين في مقام أمين، في جنات وعيون، يلبسون من سندس وإستبرق متقابلين ))
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman, di dalam taman-taman dan mata air-mata air, mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan.” (HR. Ad Dukhon: 51-53).

(( إن الذين آمنوا وعملوا الصالحات إنا لا نضيع أجر من أحسن عملا، أولئك لهم جنات عدن تجري من تحتهم الأنهار يحلون فيها من أساور من ذهب ويلبسون ثيابا خضرا من سندس وإستبرق متكئين فيها على الأرائك نعم الثواب وحسنت مرتفقا ))
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholih, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalnya dengan baik. Mereka itu memperoleh surga Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya, dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar diatas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya dan tempat istirahat yang indah.” (QS. Al Kahfi:30-31).

Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

(( من لبس الحرير في الدنيا لم يلبسه في الآخرة ))
“Siapa yang memakai sutera di dunia, maka dia tidak memakainya di akhirat.” (HR. Bukhori:5832,Muslim:2073).

Istri-istri (bidadari) di Surga:

Bidadari istri-istri penghuni Surga sangat cantik dan jelita ibarat bulan purnama, wajah mereka indah mempesona, mereka suci dan tidak pernah di sentuh oleh jin ataupun manusia, Allah berfirman:

(( ولهم فيها أزواج مطهرة وهم فيها خالدون ))
“Dan untuk mereka ada istri istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al Baqarah:25).
Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas rodhiyallahu anhuma berkata: “(Istri-istri surga) mereka tidak haid, tidak mengeluarkan berhadats (kencing dan buang kotoran besar) dan tidak pula mengeluarkan ingus.” Mujahid rohimahullah berkata: “Mereka tidak kencing dan tidak mengeluarkan kotoran besar, tidak mengeluarkan madhi dan mani, tidak haid, tidak meludah, tidak mengeluarkan ingus dan tidak pula melahirkan.” (Hadil Arwah:284).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

(( ولو اطلعت امرأة من نساء الجنة إلى الأرض لملأت بينهما ريحا ولأضاءت ما بينهما ))
“Kalau seandainya wanita surga melongok ke bumi, niscaya antara langit dan bumi penuh dengan bau harum dan bersinar.” (HR. Ahmad:3/264).

Orang-orang yang beriman di dalam surga bersenang-senang dengan istri-istri mereka, Allah berfirman:

(( إن أصحاب الجنة اليوم في شغل فاكهون، هم وأزواجهم على الأرائك متكئون ))
“Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan, mereka dan istri-istri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.” (QS. Yasin:55-56).
Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas rodhiyallahu anhuma berkata: “Mereka sibuk memecahkan keperawanan bidadari.” Muqotil berkata: “Mereka sibuk memecahkan keperawanan bidadari sampai lupa dengan penghuni neraka, sehingga mereka tidak ingat dan tidak memperhatikan mereka (penghuni neraka). (Hadil Arwah:310).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Penghuni surga di beri kekuatan seratus orang.” (HR. Tirmidzi:2536).

Penghuni Surga dikumpulkan bersama keluarga mereka:

Setiap pertemuan pasti ada perpisahan dan setiap perkumpulan pasti ada permasalahan. Akan tetapi pertemuan dan perkumpulan di surga tiada lagi perpisahan dan tiada pula permasalahan. Wahai alangkah indahnya pertemuan dan perkumpulan itu, yaitu di saat Allah Ta'ala menyatukan orang-orang yang beriman pada hari kiamat dengan keluarganya. Allah berfirman:

(( والذين آمنوا واتبعتهم ذريتهم بإيمان ألحقنا بهم ذريتهم وما ألتناهم من عملهم من شيء ))
"Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada sedikitpun mengurangi pahala amal mereka." (QS. Ath Thur:21).

Penghuni Surga diantara mereka saling mengingat amalan yang mereka kerjakan di dunia:

Allah Ta'ala berfirman:

(( وأقبل بعضهم على بعض يتساءلون ، قالوا إنا كنا قبل في أهلنا مشفقين ، فمنّ الله علينا ووقانا عذاب السموم ، إنا كنا من قبل ندعوه إنه هو البر الرحيم ))
"Dan sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain saling bertanya. Mereka berkata: "Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diadzab). Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dialah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Mulia." (QS. Ath Thuur:28).

Penghuni Surga melihat Wajah Allah di Surga:

Melihat Wajah Allah di surga adalah keni’matan yang paling besar. Allah Ta'ala berfirman:

(( للذين أحسنوا الحسنى وزيادة ولا يرهق وجوههم قتر ولا ذلة أولئك أصحاب الجنة هم فيها خالدون ))
"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahan (melihat Wajah Allah). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak pula kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya." (QS. Yunus:26).

(( وجوه يومئذ ناضرة ، إلى ربها ناظرة ))
"Wajah-wajah (orang mu'min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat." (QS. Al Qiyamah:20-21).

Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Apabila penghuni surga telah masuk ke dalam surga, Allah Azza Wa Jalla berfirman (kepada mereka): Apakah kalian menginginkan tambahan? Mereka berkata: Bukankah Engkau telah membuat putih wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka? Kemudian Allah menyingkap tabir, maka mereka tidak mendapat keni'matan yang lebih mereka cintai dari melihat Wajah Tuhan mereka Azza Wa Jalla." (HR. Muslim:181).

Kematian disembelih di antara Surga dan Nereka:

Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Di datangkan kematian seakan-akan ia adalah seekor domba, lalu di berhentikan di antara surga dan neraka, dikatakan kepada penghuni surga: Wahai penghuni surga tahukah kalian ini? Merekapun berkumpul, melihat dan berkata: Ya ini adalah kematian. Kemudian dikatakan kepada penghuni neraka: Wahai penghuni neraka tahukah kalian ini? Merekapun berkumpul, melihat dan berkata: Ya ini adalah kematian. Kemudian diperintahkan kepada kematian lalu iapun disembelih. Kemudian dikatakan: Wahai penghuni surga kekal dan tidak ada lagi kematian, wahai penghuni neraka kekal dan tidak ada lagi kematian." (Muttafaqun Alaih).

Wahai Saudaraku! Ingatlah kebahagiaan dunia hanyalah sementara, sedangkan kebahagiaan akhirat kekal selama-lamanya. Orang-orang yang cerdik mereka menyiapkan masa depannya yang abadi, adapun orang-orang yang dungu mereka silau dan tertipu dengan gemerlapnya keni'matan duniawi.

Ya Allah tunjukkan kami selalu kepada jalan-Mu yang lurus, yaitu jalan yang mengantarkan kami kepada surga-Mu. Amin Ya Robbal A'lamin.

Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Ahmad Jamil bin Alim bin Hamid.

SYARAT LAA ILAHA ILLALLOH

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد:

Berikut ini kami hadirkan ke hadapan rekan-rekan sekalian ringkasan Pengajian Bahrain, jumat 28 Desember 2007, dengan judul “Syarat-syarat “Syahadat La ilaha illallah”. Sebagaimana kita telah mempelajari "la ilaha illallah", kami berdoa kepada Allah Yang Maha Pemurah agar meneguhkan kita diatas tauhid “la ilaha illallah” dan mengakhiri kehidupan kita dari dunia yang fana ini dengan mengucapkan kalimat “la ilaha illallah”. Amin.



Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah merohmatimu- bahwasanya "la ilaha illallah" adalah kalimat yang sangat agung, yang karenanya Allah menciptakan alam dan seisinya. "La ilaha illallah" adalah kalimat yang karenanya Allah mengutus para Rosul dan menurunkan Al Kitab. Tidaklah Allah memerintahkan sebuah perintah dan melarang sebuah larangan melainkan hanya karena "la ilaha illallah". Allah menciptakan surga karena "la ilaha illallah" dan menciptakan neraka karena "la ilaha illallah", surga diciptakan karena ia tempat kembali orang-orang yang bertauhid "la ilaha illallah", dan begitu pula neraka diciptakan karena ia tempat kembali para penentang "la ilaha illallah".



"La ilaha illallah" adalah kalimat yang sangat mulia yang memiliki keistimewaan yang begitu banyak, diantranya adalah sebagai berikut:



- Orang-orang yang bertauhid la ilaha illallah mereka adalah manusia yang paling berbahagia dengan syafa'at Nabi Muhammad shallallahu alihi wasallam di hari kiamat. Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu anhu berkata : Saya bertanya : Ya Rasulullah siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:



"لقد ظننت يا أبا هريرة أن لا يسألني عن هذا الحديث أحد أول منك لما رأيت من حرصك على الحديث، أسعد الناس بشفاعتي يوم القيامة من قال : لا إله إلا الله خالصا من قلبه أو من نفسه"

“Sungguh aku mengira tidak ada seorangpun yang bertanya tentang hadits ini sebelum kamu, karena aku melihat kesungguhanmu dalam mempelajari hadits. Manusia yang paling berbahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas dari hatinya atau dari jiwanya. ( HR. Bukhori 1/99 )



- Siapa yang mengucapkan la ilaha illallah dengan benar (yakin, ikhlash, paham maknanya dan konsekuensinya) maka Allah akan menyelamatkannya dari siksa neraka. Dari Umar rodhiyallahu anhu ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :



"إني لأعلم كلمة لا يقولها عبد حقا من قلبه فيموت على ذلك إلا حرم على النار : لا إله إلا الله "

“Sungguh aku akan mengajarkan sebuah kalimat, tidaklah seorang hamba mengucapkannya dengan benar dari hatinya, lalu ia mati diatas keyakinan itu, kecuali (Allah) mengharamkan tubuhnya dari api neraka. Yaitu kalimat la ilaha illallah. ( HR. Hakim, lihat Shohih Targhib wa Tarhib : 1528)



- Barangsiapa yang di akhir hayatnya sebelum dia meninggalkan dunia yang fana ini mengucapkan la ilaha illallah, Allah akan menjaminnya masuk surga. Dari Mu’adz bin Jabal y dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda:

"من كان آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة"

"Barangsiapa diakhir hayatnya mengucapkan la ilaha illallah, maka dia pasti masuk syurga. (HR. Abu Dawud, lihat Shohihul Jami’ : 6479)



- Allah Azza Wa Jalla meneguhkan orang-orang yang memurnikan tauhid dengan kalimat tauhid la ilaha illallah di dunia, di dalam kubur dan di akhirat. Dari Baro’ bin ‘Azib rodhiyallahu anhu ia berkata : Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :



"المسلم إذا سئل في القبر يشهد أن لا إله إلا الله و أن محمدا رسول الله فذلك قوله : يثبت الله الذين آمنوا بالقول الثابت في الحياة الدنيا وفي الآخرة"

“Seorang muslim apabila ditanya didalam kubur, kemudian dia bersaksi sesungguhnya tiada tuhan yang haq selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, itulah makna firman Allah : (Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat) (QS. Ibrohim : 27) ( HR. Bukhori 5/4699 )



Namun ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah merohmatimu dan menujukkanmu ke jalan yang lurus- sesungguhnya orang-orang yang bersyahadat "la ilaha illallah" sekali-kali tidak akan diterima disisi Allah dan tidak pula bermanfaat baginya kecuali apabila dia memenuhi syarat-syarat "la ilaha illallah".



Syarat-syarat Laa ilaaha illallah

(Dinukil dari Mathwiyat Makna Syahadatain yang diterbitkan oleh Al Maktab At Ta’awuni lida’watil Jaliyat Robwah-Saudi, yang diterjemahkan oleh: Abdullah Haidir, dengan tambahan dan penyesuaian.)



Para ulama menyatakan bahwa ada tujuh syarat bagi kalimat “la ilaha illallah”. Kalimat tersebut tidak sah selama ketujuh syarat tersebut tidak terkumpul dan sempurna dalam diri seseorang, begitu pula harus disertai mengamalkan segala apa yang terkandung didalamnya dan tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengannya. Yang dimaksud bukan sekedar menghitung lafaz-lafaznya dan menghafalnya; sebab betapa banyak orang yang hafal kalimat “la ilaha illallah” akan tetapi ia keluar bagaikan anak panah yang melesat dari busurnya (keluar dari Islam), sehingga anda akan lihat dia banyak melakukan banyak perbuatan yang bertentangan (bahkan merusak “la ilaha illallah” sedang dia tidak menyadarinya). Berikut ini syarat-syaratnya:



1.Ilmu yang tidak dicampuri dengan kebodohan.



Yang dimaksud adalah memiliki ilmu tentang maknanya kalimat “laa ilaha illallah” baik dalam hal nafy (peniadaan) maupun itsbat (penetapan) dan segala amal yang dituntut darinya (memahami konsekuensinya). Jika seorang hamba mengetahui bahwa Allah Ta'ala adalah semata-mata yang disembah dengan benar dan bahwa penyembahan kepada selainnya adalah bathil, kemudian dia mengamalkan sesuai dengan ilmunya tersebut. Lawan dari mengetahui adalah bodoh, yaitu dia tidak mengetahui wajibnya mengesakan Allah dalam ibadah, bahkan dia menilai bolehnya beribadah kepada selain Allah disamping beribadah kepada-Nya, Allah Ta'ala juga berfirman:



"إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْن"

“Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)” (QS. Az Zukhruf:86). Maksudnya adalah: Siapa yang bersaksi sedangkan hati mereka mengetahui apa yang diucapkan lisan mereka.



Mempelajari makna “la ilaha illallah” adalah kewajiban yang paling pertama dan paling utama, karena bagaimana mungkin seseorang mengucapkan “la ilaha illallah” sedangkan ia tidak memahami maknanya, Allah berfirman :



(( فاعلم أنه لا إله إلا الله ))

"Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada sesembahan (yang haq) selain Allah." (QS. Muhammad 19)



Allah I menggabungkan lafadz ilmu dengan kalimat “la ilaha illallah”, hal ini menunjukkan bahwasanya ilmu yang pertama dan paling utama untuk dipelajari adalah ilmu tentang “la ilaha illallah”. Syaikh Abdurrahman As Sa’di rohimahullah berkata : “Ilmu yang Allah perintahkan untuk mempelajarinya adalah ilmu tentang mentauhidkan Allah. Maka wajib bagi setiap manusia untuk mempelajarinya, dan tidak ada seorangpun yang gugur dari kewajiban ini siapapun juga orangnya. Mereka semuanya wajib mempelajari (ilmu tentang) la ilaha illallah. ( Taisir Karimir Rohman : 5/39 )



Makna “la ilaha illallah” adalah tiada Tuhan yang disembah dengan benar selain Allah.



Adapun kalau anda mengartikan “la ilaha illallah” dengan "tiada tuhan yang disembah selain Allah", ini adalah artian yang batil karena tuhan yang disembah selain Allah banyak, namun hanya Allah Tuhan yang disembah dengan benar, sedangkan tuhan selain Allah, mereka memang disembah akan tetapi disembah dengan batil. Allah berfirman :

(( ذلك بأن الله هو الحق وأن ما يدعون من دونه هو الباطل وأن الله هو العلي الكبير ))

"Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang Haq dan sesungguhnya apa yang mereka seru selain Allah, adalah (tuhan) yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar." (QS. Al Hajj 62).



Demikian pula kalau anda mengartikan “la ilaha illallah” dengan “tiada Pencipta selain Allah”, ini juga artian yang batil; karena seluruh manusia baik yang beriman ataupun yang kafir meyakini akidah ini, bahkan orang-orang musyrikin Quraisy ketika ditanya: Siapakah yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki? Mereka semua menjawab: Yang mampu melakukan hal itu hanyalah Allah. Namun ketika mereka diajak oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam untuk mengucapkan “la ilaha illallah” yaitu memurnikan segala jenis dan bentuk peribadatan hanya kepada Allah; merekapun mengingkari dan memusuhi beliau shallallahu alaihi wasallam.



Kemudian setelah kita mengetahui arti makna “la ilaha illallah”, kita harus mengetahui pula konsekuensi dari “la ilaha illallah”; Yaitu janganlah kita beribadah melainkan hanya kepada Allah, janganlah berdoa meminta pertolongan kepada patung, jangan pula meminta pertolongan kepada berdoa kepada para Wali yang telah mati, bahkan jangan meminta pertolongan kepada para Nabi, akan tetapi berdoalah dan mintalah pertolongan hanya kepada Allah. Janganlah kita bertawakkal melainkan hanya kepada Allah.



Janganlah berserah diri diri kepada jin ataupun kepada tukang sihir dan jangan pula berserah diri kepada ramalan bintang! Namun berserahlah diri hanya kepada Allah. Janganlah bersyukur terhadap keni’matan yang dierikan kepadamu melainkan hanya kepada Allah; janganlah bersyukur kepada para imam yang telah mati, namun bersyukurlah hanya kepada Allah.





2.Yakin yang tidak dicampuri dengan keraguan.

Yaitu seseorang mengucapkan syahadat dengan keyakinan sehingga hatinya tenang dengannya, tanpa sedikitpun pengaruh keraguan yang dibisikkan oleh syetan-syetan jin dan manusia, bahkan dia mengucapkannya dengan penuh keyakinan atas kandungan yang ada didalamnya. Siapa yang mengucapkan “la ilaha illallah” maka wajib baginya meyakininya didalam hati dan mempercayai kebenaran apa yang diucapkannya yaitu adanya hak ketuhanan hanya dimiliki Allah Ta'ala dan tidak adanya sifat ketuhanan kepada segala sesuatu dari selain-Nya. Juga berkeyakinan bahwa kepada selain Allah tidak boleh diarahkan kepadanya ibadah dan penghambaan. Jika dia ragu terhadap syahadatnya atau tidak mengakui bathilnya sifat ketuhanan selain Allah Ta'ala, misalnya dengan mengucapkan: “Saya meyakini akan ketuhanan Allah Ta'ala akan tetapi saya ragu akan bathilnya ketuhanan selain-Nya”, maka batallah syahadatnya dan tidak bermanfaat baginya. Allah Ta'ala berfirman:



"إِنَّمَا اْلمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا"

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu ”. (QS. Al Hujurat:15).



Maka hendaklah kita yakin bahwasanya Tuhan yang disembah dengan benar hanya Allah, adapun selain Allah adalah tuhan-tuhan yang batil. Dan janganlah kita ragu-ragu akan hal ini, karena ragu-ragu dalam masalah ini adalah sifat orang-orang munafikin, Allah Ta’la berfirman:



"مذبذبين بين ذلك لا إلى هؤلاء ولا إلى هؤلاء، ومن يضلل الله فلن تجد له سبيلا"

“Mereka (orang-orang munafik) dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir); tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak pula kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barang siapa yang disesatkan Allah, maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (QS. An Nisa’:143).



3. Menerima yang tidak dicampuri dengan penolakan.



Maksudnya adalah menerima semua ajaran yang terdapat dalam kalimat tersebut dalam hatinya dan lisannya. Dia membenarkan dan beriman atas semua berita dan apa yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada sedikitpun yang ditolaknya dan tidak berani memberikan penafsiran yang keliru atau perubahan atas nash-nash yang ada sebagaimana hal tersebut dilarang Allah Ta'ala. Dia berfirman:
"قُوْلُوا آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا"

“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”. (QS. Al Baqarah:136)



Lawan dari menerima adalah menolak. Ada sebagian orang yang mengetahui makna syahadatain dan yakin akan kandungan yang ada didalamnya akan tetapi dia menolaknya karena kesombongannya dan kedengkiannya. Allah Ta'ala berfirman:


"فَإِنَّهُمْ لاَ يُكَذِّبُوْنَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِيْنَ بِأَيَاتِ اللهِ يَجْحَدُوْنَ"

“Karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah” (QS. Al An’am:33).



Rosulullah shallallahu alaihi wasallam ketika berdakwah kepada orang-orang musyrikin Quraisy untuk mengucapkan kalimat “la ilaha illallah” yaitu dengan memurnikan segala bentuk dan jenis peribadatan hanya kepada Allah; mereka menolaknya dengan sombong. Allah Ta’ala mengkisahkan penolakan mereka dalam firman-Nya:

"إنهم كانوا إذا قيل لهم لا إله إلا الله يستكبرون، ويقولون أئِنا لتاركوا آلهتنا لشاعر مجنون، بل جاء بالحق وصدّق المرسلين"

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyom kan diri. Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan kami karena seorang penyair yang gila? Sebenarnya dia Muhammad) telah datang membaa kebenaran dan membenarkan rosul-rosul (sebelumnya). (QS. Ash Shoffat: 35-37).



Termasuk penolakan adalah perkataan manusia hari ini, ketika dikatakan kepada mereka: “Janganlah berdoa kepada para imam yang telah mati, seperti doa: (Ya Ali tolonglah kami), (Ya Husain tolonglah kami), (Ya Fatimah mudahkan urusan kami) dll, karena ini semua adalah doa-doa syirik yang merusak Tauhid “la ilaha illallah”, . Mereka berkata: “Ini adalah madzhab kami dan keyakinan kami”.

Maka kami katakan: “Inna lillahi wa inna ilaihi riji’un, apakah madzhab dan keyakinan mereka didasari dengan syirik meyekutukan Allah Ta’ala”.



Termasuk dikatakan menolak, jika seseorang menentang atau benci dengan sebagian hukum-hukum Syari’at atau hudud (hukum pidana Islam). Allah Ta'ala berfirman:
"يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً"

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya”. (QS. Al Baqarah:208)



4. Tunduk yang tidak dicampuri dengan pengingkaran.



Yang dimasud adalah tunduk atas apa yang diajarkan dalam kalimat Ikhlas, yaitu dengan menyerahkan dan merendahkan diri serta tidak membantah terhadap hukum-hukum Allah. Allah Ta'ala berfirman:



"وَأَنِيْبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ"

“Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya”. (QS. Az Zumar:54).



Termasuk juga tunduk terhadap apa yang dibawa Rasulullah sollallohu ‘alihi wa salam dengan diiringi sikap ridho dan mengamalkannya tanpa bantahan serta tidak menambah atau mengurangi. Jika seseorang telah mengetahui makna “la ilaha lllallah” dan yakin serta menerimanya, akan tetapi dia tidak tunduk dan menyerahkan diri dalam melaksanakan kandungannya maka semua itu tidak memberinya manfaat. Termasuk dikatakan tidak tunduk juga adalah tidak menjadikan syariat Allah sebagai sumber hukum dan menggantinya dengan undang-undang buatan manusia.



5. Jujur yang tidak dicampuri dengan kedustaan.



Maksudnya jujur dengan keimanannya dan aqidahnya, selama itu terwujud maka dia dikatakan orang yang membenarkan terhadap kitab Allah Ta'ala dan sunnahnya, Allah Ta’ala berfirman:

"إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْن"

“Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)” (QS. Az Zukhruf:86). Maksudnya adalah: Siapa yang bersaksi sedangkan hati mereka mengetahui apa yang diucapkan lisan mereka.



Lawan dari jujur adalah dusta, jika seorang hamba berdusta dalam keimanannya, maka seseorang tidak dianggap beriman bahkan dia dikatakan munafiq walaupun mengucapkan syahadat dengan lisannya, maka syahadat tersebut baginya tidak menyelamatkannya, Allah Ta’ala berfirman:



"ومن الناس من يقول آمنا بالله واليوم الآخر وما هم بمؤمنين، يخادعون الله والذين آمنوا وما يخدعون إلا أنفسهم وما يشعرون، في قلوبهم مرض فزادهم الله مرضا ولهم عذاب أليم بما كانوا يكذبون"

“Dan diantara manusia ada yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah dan hari akhir, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya; dan bagi mereka adzab yang pedih disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al Baqarah:8-10).



Termasuk yang menghilangkan sahnya syahadat adalah mendustakan apa yang dibawa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atau mendustakan sebagian yang dibawanya, karena Allah Ta'ala telah memerintahkan kita untuk ta’at kepadanya dan membenarkannya dan mengaitkannya dengan ketaatan kepada-Nya.



6. Ikhlas yang tidak dicampuri dengan kesyirikan dan riya’.



Maksudnya adalah mensucikan setiap amal perbuatan dengan niat yang murni dari kotoran-kotoran syirik, yang demikian itu terwujud dari apa yang tampak dalam perkataan dan perbuatan yang semata-mata karena Allah Ta'ala dan karena mencari ridho-Nya. Tidak ada didalamnya kotoran riya’ dan ingin dikenal, atau tujuan duniawi dan pribadi, atau juga melakukan sesuatu karena kecintaannya terhadap seseorang atau golongannya atau partainya dimana dia menyerahkan dirinya kepada hal-hal tersebut tanpa petunjuk Allah Ta'ala, Dia berfirman:


"ألاَ لِلَّهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ"

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)”. (QS. Az Zumar:3)



"وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنُ"

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus” . (QS. Al Bayinah:5)



Lawan dari ikhlas adalah Syirik dan riya’, yaitu mencari keridhoan selain Allah Ta'ala. Jika seseorang telah kehilangan dasar keikhlasannya, maka syahadat tidak bermanfaat baginya. Allah Ta'ala berfirman:



"وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْناَهاَ هَبَاءً مَنْثُوراً"

“Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” (QS. Al Furqon:23)



Maka dengan demikian tidak ada manfaat baginya semua amalnya karena dia telah kehilangan landasannya. Allah Ta'ala berfirman:

"إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءَ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ افْتَرَى إِثْما عَظِيْماً"

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sengguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An Nisa:48).



7. Cinta yang tidak dicampuri dengan kebencian.



Yaitu mencintai kalimat yang agung ini serta semua ajaran dan konsekwensi yang terkandung didalamnya maka dia mencintai Allah dan Rasul-Nya dan mendahulukan kecintaan kepada keduanya atas semua kecintaan kepada yang lainnya serta melakukan semua syarat-syaratnya dan konsekwensinya. Cinta terhadap Allah adalah rasa cinta yang diiringi dengan rasa pengangungan dan rasa takut dan pengharapan.



Termasuk cinta kepada Allah adalah mendahulukan apa yang Allah cintai atas apa yang dicintai hawa nafsu dan segala tuntutannya, termasuk juga rasa cinta adalah membenci apa yang Allah benci, maka dirinya membenci orang-orang kafir serta memusuhi mereka. Dia juga membenci kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.



Termasuk tanda cinta adalah tunduk terhadap syariat Allah dan mengikuti ajaran nabi Muhammad dalam setiap urusan. Allah Ta'ala berfirman:

"قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهَ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ"

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali Imran:30)



Lawan dari cinta adalah benci. Yaitu membenci kalimat ini dan semua ajaran yang terkandung didalamnya atau mencinta sesuatu yang disembah selain Allah bersama kecintaannya terhadap Allah. Allah Ta'ala berfirman:


"ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ"

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amala mereka”. (QS. Muhammad:9)



Termasuk yang menghilangkan sifat cinta adalah membenci Rasulullah sollallohu ‘alihi wa salam dan mencintai musuh-musuh Allah serta membenci wali-wali Allah dari golongan orang yang beriman.



Akhirnya kami memohon kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang untuk selalu memperbaiki keimanan dan keislaman kita dan mudah-mudahan Allah selalu menunjukkan kita kepada jalan yang lurus sampai kita berjumpa dengan-Nya. Amin.



Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Ditulis hamba Allah yang faqir kepada ampunan-Nya: Ahmad Jamil bi Alim bin Hamid.

PERAYAAN TAHUN BARU ITU SYIAR KAUM KUFFÂR

Oleh : Muhammad Abū Salmâ



“Tet Tet Tet”, saya mendengar bising suara anak-anak kecil meniup terompet. Bising sekali. Di pinggiran jalan, berjejer panjang para penjual terompet dengan berbagai aksesorisnya mengais rezeki. Saya teringat, ohya… beberapa hari lagi akan masuk pergantian tahun. Subhânallôh, di mana-mana masyarakat tampaknya sedang sibuk mempersiapkan perayaan tahun baru. Mulai dari spanduk, baleho, umbul-umbul, aksesoris dan lainnya. Di perempatan lampu merah, mata saya tertarik dengan sebuah spanduk bertuliskan, ”Muhasabah Akhir Tahun & Istighotsah” bersama ”Gus…”.

Mungkin, penyelenggara acara tersebut berfikir, daripada kaum muslimin berhura-hura pada saat pergantian akhir tahun, lebih baik membuat acara yang Islâmî sebagai alternatif daripada acara hura-hura. Tapi, apa benar bahwa perayaan Tahun baru itu merupakan syiarnya kaum kuffâr?!! Masak hanya merayakan perayaan dan peringatan seperti ini saja dikatakan syiarnya kaum kuffâr?!! Mungkin, demikian pertanyaan yang muncul dari benar para pembaca.

Iya, peringatan tahun baru (New Year Anniversary) itu merupakan syiar kaum kuffâr. Karena, tidaklah peringatan ini dirayakan, melainkan ia satu paket dengan peringatan natal (christmas). Kita sering lihat dan mendengar, bahwa tahni`ah (ucapan selamat) kaum Nasrani adalah : “Marry Christmas and Happy New Year”, “Selamat Natal dan Tahun Baru”. Namun, tunggu dulu. Tidak itu saja… Ternyata kaum pagan Persia yang beragama Majūsî (penyembah api), menjadikan tanggal 1 Januari sebagai hari raya mereka yang dikenal dengan hari Nairuz atau Nurus.

Penyebab mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari raya adalah, ketika Raja mereka, ‘Tumarat’ wafat, ia digantikan oleh seorang yang bernama ‘Jamsyad’, yang ketika dia naik tahta ia merubah namanya menjadi ‘Nairuz’ pada awal tahun. ‘Nairuz’ sendiri berarti tahun baru. Kaum Majūsî juga meyakini, bahwa pada tahun baru itulah, Tuhan menciptakan cahaya sehingga memiliki kedudukan tinggi.

Kisah perayaan mereka ini direkam dan diceritakan oleh al-Imâm an-Nawawî dalam buku Nihâyatul ‘Arob dan al-Muqrizî dalam al-Khuthoth wats Tsâr. Di dalam perayaan itu, kaum Majūsî menyalakan api dan mengagungkannya –karena mereka adalah penyembah api. Kemudian orang-orang berkumpul di jalan-jalan, halaman dan pantai, mereka bercampur baur antara lelaki dan wanita, saling mengguyur sesama mereka dengan air dan khomr (minuman keras). Mereka berteriak-teriak dan menari-nari sepanjang malam. Orang-orang yang tidak turut serta merayakan hari Nairuz ini, mereka siram dengan air bercampur kotoran. Semuanya dirayakan dengan kefasikan dan kerusakan.

Kemudian, sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan ilmunya tidak mau kalah. Mereka bagaikan kaum Nabî Mūsâ dari Banî Isrâ`il yang setelah Allôh selamatkan dari pasukan Fir’aun dan berhasil melewati samudera yang terbelah, mereka berkata kepada Mūsâ ‘alaihis Salâm untuk membuatkan âlihah (sesembahan-sesembahan) selain Allôh, sehingga Mūsâ menjadi murka kepada mereka. Sebagian kaum muslimin di zaman ini turut merayakan perayaan tahun baru Masehi ini. Bahkan sebagian lagi, supaya tampak Islâmî merubah perayaan ini pada tahun baru Hijriah.

Al-Muqrizî di dalam Khuthath-nya (I/490) menceritakan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan tahun baru Hijriah ini adalah para pendukung bid’ah dari penguasa zindîq, Daulah ‘Ubaidiyah Fâthimîyah di Mesir, daulah Syi`ah yang mencabik-cabik kekuasaan daulah ‘Abbâsiyah dengan pengkhianatan dan kelicikan. Dan sampai sekarang pun, anak cucu mereka masih gemar merayakan perayaan-perayaan bid’ah yang tidak pernah Allôh dan Rasūl-Nya tuntunkan.

Pesta tahun baru sendiri, merupakan syiarnya kaum Yahūdî yang dijelaskan di dalam taurat mereka, yang mereka sebut dengan awal Hisya atau pesta awal bulan, yaitu hari pertama tasyrîn, yang mereka anggap sama dengan hari raya ‘Idul Adhhâ-nya kaum muslimin. Mereka mengklaim bahwa pada hari itu, Allôh memerintahkan Ibrâhîm untuk menyembelih Ishâq ‘alaihis Salâm yang lalu ditebus dengan seekor kambing yang gemuk.

Sungguh ini adalah sebuah kedustaan yang besar yang diada-adakan oleh Yahūdî. Karena sebenarnya yang diperintahkan oleh Allôh untuk disembelih adalah Ismâ’îl bukan Ishâq ‘alaihimâs Salâm. Karena sejarah mencatat bahwa Ismâ’îl adalah lebih tua daripada Ishâq dan usia Ibrâhîm pada saat itu adalah 99 tahun. Mereka melakukan tahrîf (penyelewengan fakta) semisal ini disebabkan oleh kedengkian mereka. Karena mereka tahu bahwa Ismâ’îl adalah nenek moyang orang ‘Arab sedangkan Ishâq adalah nenek moyang mereka.

Kemudian datanglah kaum Nasrani mengikuti jejak orang-orang Yahūdî. Mereka berkumpul pada malam awal tahun Mîlâdîyah. Dalam perayaan ini mereka melakukan do`a dan upacara khusus dan begadang hingga tengah malam. Mereka habiskan malam mereka dengan menyanyi-nyanyi, menari-nari, makan-makan dan minum-minum sampai menjelang detik-detik akhir pukul 12 malam. Lampu-lampu dimatikan dan setiap orang memeluk orang yang ada di sampingnya, sekitar 5 menit. Semuanya sudah diatur, bahwa disamping pria haruslah wanita. Kadang-kadang mereka saling tidak mengenal dan setiap orang sudah tahu bahwa orang lain akan memeluknya ketika lampu dipadamkan. Mereka memadamkan lampu itu bukannya untuk menutupi aib, namun untuk menggambarkan akhir tahun mulainya tahun baru.

Kini, perayaan ini telah menjadi suatu trend mark tersendiri. Muda, tua, pria, wanita, anak-anak, dewasa, muslim, kâfir, semuanya berkumpul untuk merayakan tahun baru. Segala bentuk acara untuk menyambut perayaan ini bermacam-macam. Ada yang sarat dengan kesyirikan, ada lagi yang sarat dengan kemaksiatan dan kefasikan, dan ada lagi yang sarat dengan kebid’ahan, dan ada pula yang sarat dengan kesemua itu.

Yang sarat dengan kesyirikan seperti, upacara penyambutan tahun baru yang kental diwarnai dengan klenik, perdukunan dan ilmu sihir. Segala paranormal berkumpul dan memberikan ramalan tentang awal tahun, baik dan buruknya. Sebagian lagi ada yang nyepi ke gunung-gunung atau tempat keramat untuk mencari ‘wangsit’ alias ilham dari setan.

Ada lagi yang sarat dengan kemaksiatan dan kefasikan. Dan ini sangat banyak sekali dan mendominasi. Mulai dari pentas musik akhir tahun yang menghadirkan wanita-wanita telanjang tidak punya malu yang bergoyang-goyang dan menari-nari merusak moral, sampai acara minum-minuman keras, narkoba dan seks bebas.

Ada lagi yang mengisi kegiatan ini dengan bid’ah-bid’ah yang tidak pernah dituntunkan oleh Rasūlullâh dan tidak pula dikerjakan oleh generasi terbaik, para sahabat dan as-Salaf ash-Shâlih. Mereka melakukan sholât malam (Qiyâmul Layl) berjama’ah khusus pada malam tahun baru saja dan disertai niat pengkhususannya. Ada lagi yang melakukan Muhâsabah atau renungan suci akhir tahun, dengan membaca ayat-ayat al-Qur`ân sambil menangis-nangis. Ada lagi yang berdzikir berjamâ’ah bahkan sampai istighôtsah kubrô. Dan segala bentuk bid’ah-bid’ah lainnya.



Dalîl-Dalîl Pengharamannya

Banyak dalîl-dalîl yang menjelaskan keharaman perayaan-perayaan yang merupakan syiar kaum kuffâr ini. Semuanya kembali kepada haramnya tasyabbuh ’alal Kuffâr (meniru kaum kuffâr) dan mengerjakan amalan yang tidak dituntunkan oleh Rasūlullâh dan para sahabatnya (bid’ah).

Syaikhul Islâm Ibnu Taimîyah rahimahullâh menulis sebuah kitâb khusus dan lengkap tentang larangan menyerupai kaum kuffâr, terutama yang berkaitan dengan hari-hari raya dan ritual ibadah mereka yang berjudul Iqtidhâ` ash-Shirâthal Mustaqîm li Mukhâlafati Ashhâbil Jahîm. Beliau menyebutkan dan memaparkan dalîl-dalîlnya dari al-Qur`ân lebih dari 30 ayat dan lebih dari 100 hadîts berserta wajhu dilâlah (sisi pendalilannya), termasuk juga ijma’ ulama, âtsâr dan i’tibâr-nya. Sampai-sampai al-Mufti, al-’Allâmah Muhammad bin Ibrâhîm Âlu Syaikh memujinya dan mengatakan, ”Betapa berharganya kitâb ini dan betapa besar faidahnya.” (Fatâwa wa Rosâ`il III/109).

Syaikhul Islâm rahimahullâh berkata :

موافقة الكفار في أعيادهم لا تجوز من طريقين: الدليل العام، والأدلة الخاصة: أما الدليل العام: أن هذا موافقة لأهل الكتاب فيما ليس من ديننا، ولا عادة سلفنا، فيكون فيه مفسدة موافقتهم، وفي تركه مصلحة مخالفتهم، لما في مخالفتهم من المصلحة لنا، لقوله - صلى الله عليه وسلم -: (من تشبه بقوم فهو منهم) فإن موجب هذا تحريم التشبه بهم مطلقاً، وكذلك قوله (خالفوا المشركين) وأعيادهم من جنس أعمالهم التي هي دينهم أو شعار دينهم، الباطل.وأما الأدلة الخاصة في نفس أعياد الكفار، فالكتاب والسنة والإجماع والاعتبار دالة على تحريم موافقة الكفار في أعيادهم.

”Menyepakati kaum kuffâr di dalam perayaan-perayaan mereka tidak boleh hukumnya dengan dua argumentasi dalil, yaitu dalil umum dan dalil khusus. Dalil umumnya adalah, bahwa menyepakati ahli kitâb di dalam perkara yang tidak berasal dari agama kita dan tidak pula berasal dari kebiasaan salaf kita, maka di dalamnya terdapat kerusakan menyepakati mereka dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka. Menyelisihi mereka ada maslahatnya bagi kita, sebagaimana sabda Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa sallam : ”Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” Hadîts ini berkonsekuensi akan haramnya menyerupai kaum kuffâr secara mutlak. Demikian pula sabda Nabî, ”Selisihilah kaum musyrikîn”, sedangkan hari raya mereka termasuk jenis amal perbuatan berupa agama atau syiar agama mereka yang bâthil. Adapun dalîl-dalîl khusus tentang (haramnya menyepakati) perayaan kaum kuffâr ada di dalam al-Kitâb, as-Sunnah, al-Ijmâ’ dan al-I’tibar yang menunjukkan atas haramnya menyepakati kaum kuffâr di dalam berbagai perayaan mereka.” [Iqtidhâ` ash-Shirâthal Mustaqîm].

Dikarenakan banyaknya dalîl yang diuraikan oleh Syaikhul Islâm, maka saya akan meringkaskannya dan mencuplik sebagian saja. Berikut ini diantara dalîl-dalîl khusus akan haramnya menyepakati kaum kuffâr di dalam perayaan mereka :

Allôh Azza wa Jalla berfirman

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

”Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS al-Furqân : 72)

{ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ } وقال أبو العالية، وطاوس، ومحمد بن سيرين، والضحاك، والربيع بن أنس، وغيرهم: هي أعياد المشركين

Abūl ’Âliyah, Thôwus, Muhammad bin Sîrîn, adh-Dhohhâk, Rabî’ bin Anas dan selain mereka, mengatakan bahwa maksud Lâ yasyhadūna biz Zūr adalah (tidak menghadiri) perayaan kaum musyrikîn. [Lihat : Tafsîr Ibnu Katsîr VI/130; lihat pula Iqtidhâ` I/80]

وفي رواية عن ابن عباس – رضي الله عنهما - : أنه أعياد المشركين . وقال عكرمة – رحمه الله - : (لعب كان في الجاهلية يسمى بالزور )

Menurut riwayat Ibnu ’Abbâs radhiyallâhu ’anhumâ bahwa yang dimaksud (az-Zūr) adalah perayaan kaum musyrikin. ’Ikrimah rahimahullâhu berkata : ”Permainan di masa jahiliyah disebut dengan az-Zūr.” [Lihat : al-Jâmi` li Ahkâmil Qur`ân karya Imâm al-Qurthubî XIII/79/80].

Di dalam ayat di atas, Allôh menyatakan Lâ Yasyhadūna az-Zūr (tidak menyaksikan kepalsuan) bukan Lâ Yasyhadūna biz Zūr (tidak memberikan kesaksian palsu), hal ini menguatkan tafsîr para imâm dan ulama di atas. Oleh karena itulah Syaikhul Islâm menguatkan makna tafsîr di atas, beliau rahimahullâh berkata :

والعرب تقول : (شهدت كذا : إذا حضرته) . كقول ابن عباس – رضي الله عنهما- : (( شهدت العيد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ))

”Orang ’Arab mengatakan : Syahidtu kadzâ (aku menyaksikan begini) maksudnya bila aku menghadirinya. Sebagaimana perkataan Ibnu ’Abbâs radhiyallâhu ’anhu : ”Saya menghadiri ’îd bersama Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam.” [Lihat Iqtidhâ` I/429].

Dan masih banyak ayat-ayat al-Qur`ân lainnya.

Adapun hadîts-hadîts yang melarang menyepakati perayaan kaum kuffâr banyak sekali. Diantaranya adalah :

عن أنس بن مالك - رضي الله عنه – قال: قدم رسول الله - صلى الله عليه وسلم – المدينة، ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: ما هذان اليومان، قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية. فقال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –: (إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما، يوم الأضحى، ويوم الفطر)

Dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ’anhu beliau berkata : Rasūlullâh Shallâllâhu ’alahi wa Sallam tiba di Madînah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam mengatakan : ”Sesungguhnya Allôh telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhhâ dan idul fithri.” [Shahîh riwayat Imâm Ahmad, Abū Dâwud, an-Nasâ`î dan al-Hâkim.]

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata :

فوجه الدلالة أن اليومين الجاهليين لم يقرهما رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ولا تركهم يلعبون فيهما على العادة، بل قال إن الله قد أبدلكم بهما يومين آخرين، والإبدال من الشيء يقتضي ترك المبدل منه، إذ لا يجمع بين البدل والمبدل منه.

”Sisi pendalilan hadîts di atas adalah, bahwa dua hari raya jahiliyah tersebut tidak disetujui oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam dan Rasūlullâh tidak meninggalkan (memperbolehkan) mereka bermain-main di dalamnya sebagaimana biasanya. Namun beliau menyatakan bahwa sesungguhnya Allôh telah mengganti kedua hari itu dengan dua hari raya lainnya. Penggantian suatu hal mengharuskan untuk meninggalkan sesuatu yang diganti, karena suatu yang mengganti dan yang diganti tidak akan bisa bersatu.”

Banyak sekali hadîts yang memerintahkan kita untuk menyelisihi kaum kuffâr, misalnya kita disuruh untuk menyemir rambut dalam rangka menyelisihi Yahūdi dan Nashrâni, Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda :

إنَّ اليهود والنصارى لا يصبغون فخالفوهم

”Sesungguhnya orang Yahūdi dan Nashrâni tidak menyemir rambut mereka, maka selisihilah mereka.” [Muttafaq ’alaihi]

Kita juga diperintahkan untuk memelihara jenggot dan memotong kumis, diantara hikmahnya adalah untuk menyelisihi kaum musyrikin. Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda :

خالفوا المشركين أحفوا الشوارب وأوفوا اللحى

”Selisihilah orang musyrikin, potonglah kumis dan biarkan jenggot kalian.” [HR Muslim].

جزوا الشوارب، وأرخوا اللحى، وخالفوا المجوس

”Guntinglah kumis, panjangkan jenggot dan selisihilah orang Majūsî.” [HR Muslim].

Kita pun disyariatkan sholât dengan sandal dan khūf (alas kaki/sepatu) untuk menyelisihi orang Yahūdi. Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda :

خالفوا اليهود فإنهم لا يصلون في نعالهم ولا خفافهم

”Selisihilah Yahūdi karena mereka tidak sholât dengan sandal dan sepatu mereka.” [HR Abū Dâwud].

Dianjurkannya bersahur pun, diantara hikmahnya adalah juga untuk menyelisihi Ahli Kitâb. Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda :

فصل ما بين صيامنا وصيام أهل الكتاب أكلة السحر

”Yang membedakan puasa kita dengan puasa ahli kitâb adalah, makan sahūr.” [HR Muslim].

Demikian pula dengan menyegerakan berbuka, juga dianjurkan untuk menyelisihi ahli Kitâb :

لا يزال الدين ظاهراً ما عجل الناس الفطر ؛ لأن اليهود والنصارى يؤخرون

”Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang Yahūdi dan Nashrâni mengakhirkannya.” [HR Abū Dâwud].

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya.

Sisi pendalilan hadits-hadits di atas adalah, apabila dalam masalah penampilan saja, seperti menyemir rambut dan memelihara jenggot kita diperintahkan untuk menyelisihi kaum kuffâr, maka tentu saja dalam hal perayaan yang bersifat bagian dari ritual dan syiar keagamaan mereka lebih utama dan lebih wajib untuk diselisihi.

Adapun âtsar sahabat dan ulama salaf dalam masalah ini, sangatlah banyak. Diantaranya adalah ucapan ’Umar radhiyallâhu ’anhu, beliau berkata :

اجتنبوا أعداء الله في عيدهم

”Jauhilah hari-hari perayaan musuh-musuh Allôh.” [Sunan al-Baihaqî IX/234].

’Abdullâh bin ’Amr radhiyallâhu ’anhumâ berkata :

من بنى ببلاد الأعاجم وصنع نيروزهم ومهرجانهم ، وتشبه بهم حتى يموت وهو كذلك حُشِر معهم يوم القيامة

”Barangsiapa yang membangun negeri orang-orang kâfir, meramaikan peringatan hari raya nairuz (tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.” [Sunan al-Baihaqî IX/234].

Imâm Muhammad bin Sîrîn berkata :

: أُتي على -رضي الله عنه- بهدية النيروز. فقال : ما هذا ؟ قالوا : يا أمير المؤمنين هذا يوم النيروز . قال : فاصنعوا كل يوم فيروزاً . قال أسامة : كره أن يقول : نيروز

’’Alî radhiyallâhu ’anhu diberi hadiah peringatan Nairuz (Tahun Baru), lantas beliau berkata : ”apa ini?”. Mereka menjawab, ”wahai Amîrul Mu’minîn, sekarang adalah hari raya Nairuz.” ’Alî menjawab, ”Jadikanlah setiap hari kalian Fairuz.” Usâmah berkata : Beliau (’Alî mengatakan Fairuz karena) membenci mengatakan ”Nairuz”. [Sunan al-Baihaqî IX/234].

Imâm Baihaqî memberikan komentar :

وفي هذا الكراهة لتخصيص يوم بذلك لم يجعله الشرع مخصوصاً به

”Ucapan (’Alî) ini menunjukkan bahwa beliau membenci mengkhususkan hari itu sebagai hari raya karena tidak ada syariat yang mengkhususkannya.”

Apabila demikian ini sikap manusia-manusia terbaik, lantas mengapa kita lebih menerima pendapat dan ucapan orang-orang yang jâhil dan mengikuti budaya kaum kuffâr daripada ucapan para sahabat yang mulia ini.



Hari Raya Kita Adalah Idul Fithri dan Idul Adhhâ serta Jum’at

Di dalam hadîts yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minîn, ’Â`isyah ash-Shiddîqah binti ash-Shiddîq radhiyallâhu ’anhumâ, beliau menceritakan bahwa ayahanda beliau, Abū Bakr radhiyallâhu ’anhu mengunjungi Rasūlullâh. Kemudian Abū Bakr mendengar dua gadis jâriyah menyanyi dan mengingkarinya. Mendengar hal ini, Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda :

يا أبا بكر ! إن لكل قوم عيداً وإن عيدنا هذا اليوم

”Wahai Abū Bakr, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya dan hari raya kita adalah pada hari ini.” [HR Bukhârî].

Dari hadîts di atas, ada dua hal yang bisa kita petik :

Pertama, sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam : ”Sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya” menunjukkan bahwa setiap kaum itu memiliki hari raya sendiri-sendiri. Hal ini sebagaimana firman Allôh Ta’âlâ :

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً

”Untuk tiap-tiap (ummat) diantara kalian ada aturan dan jalannya yang terang (tersendiri).” [QS al-Mâ`idah : 48].

Ayat di atas menunjukkan bahwa Allôh memberikan aturan dan jalan sendiri-sendiri secara khusus. Kata Lâm (لِ) pada kata Likullin (لِكُلٍّ) menunjukkan makna ikhtishâsh (pengkhususan). Apabila orang Yahūdi memiliki hari raya dan orang Nashrâni juga memiliki hari raya, maka hari-hari raya itu adalah khusus bagi mereka dan tidak boleh bagi kita, kaum muslimin, ikut turut serta dalam perayaan mereka, sebagaimana kita tidak boleh ikut dalam aturan dan jalan mereka.

Kedua, sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam : وإن عيدنا هذا اليوم(Dan hari raya kita adalah pada hari ini”), dalam bentuk ma’rifah (definitif) dengan lâm dan idhâfah menunjukkan hasyr (pembatasan), yaitu bahwa jenis hari raya kita dibatasi hanya pada hari itu. Dan hari tersebut di sini masuk pada cakupan hari raya ’îdul Fithri dan ’îdul Adhhâ, seperti dalam perkataan para ulama fikih :

لا يجوز صوم يوم العيد

”Tidak boleh berpuasa pada hari raya”.

Maka maksudnya tentu saja, tidak boleh berpuasa pada dua hari raya ’Idul Fithri dan ’Idul Adhhâ.

Dalîl lainnya adalah hadîts Anas bin Mâlik :

عن أنس بن مالك - رضي الله عنه – قال: قدم رسول الله - صلى الله عليه وسلم – المدينة، ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: ما هذان اليومان، قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية. فقال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –: (إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما، يوم الأضحى، ويوم الفطر)

Dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ’anhu beliau berkata : Rasūlullâh Shallâllâhu ’alahi wa Sallam tiba di Madînah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam mengatakan : ”Sesungguhnya Allôh telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhhâ dan idul fithri.” [Shahîh riwayat Imâm Ahmad, Abū Dâwud, an-Nasâ`î dan al-Hâkim.]

Adapun Jum’at, maka termasuk hari raya kaum muslimin yang berulang-ulang dalam tiap pekannya. Sehingga dengannya telah cukup bagi kita dan tidak mencari hari-hari perayaan lainnya. Dalîl hal ini adalah, sabda Nabî yang mulia Shallâllâhu ’alahi wa Sallam :

أضل الله عن الجمعة من كان قبلنا ، فكان لليهود يوم السبت، وكان للنصارى يوم الأحد فجاء الله بنا، فهدانا الله ليوم الجمعة، فجعل الجمعة والسبت والأحد ، وكذلك هم تبع لنا يوم القيامة، نحن الآخرون من أهل الدنيا ، والأولون يوم القيامة، المقتضي لهم

”Alloh simpangkan dari hari Jum’at umat sebelum kita, dahulu Yahudi memiliki (hari agung) pada hari Sabtu dan Nashrani pada hari Ahad. Kemudian Allôh datangkan kita dan Alloh anugerahi kita dengan hari Jum’at, lantas Alloh jadikan hari Jum’at, Sabtu dan Ahad. Demikianlah, mereka adalah kaum yang akan mengekor kepada kita pada hari kiamat sedangkan kita adalah umat yang terakhir dari para penduduk dunia namun umat yang awal pada hari kiamat, yang diadili (pertama kali) sebelum makhluk-makhluk lainnya. [HR Muslim]

Dari Ibnu ’Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda :

إن هذا يوم عيد جعله الله للمسلمين فمن جاء الجمعة فليغتسل…

”Sesungguhnya hari ini adalah hari ’Ied yang Alloh jadikan bagi kaum Muslimin, barangsiapa yang mendapati hari Jum’at hendaknya ia mandi…” [HR Ibnu Majah dalam Shahih at-Targhib I/298].



Mencukupkan Diri Dengan Sunnah

Para pembaca budiman, sesungguhnya mencukupkan diri dengan yang telah diberikan oleh Allôh dan Rasūl-Nya adalah jauh lebih baik dan utama bagi kita, sehingga tidak perlu bagi kita mencari selain dari apa yang dituntunkan dan diperintahkan oleh Rabb dan Nabî kita, lalu mengikuti jalannya orang-orang yang bodoh dan menyimpang. Allôh Ta’âlâ berfirman :

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ

”Kemudian, kami jadikan kamu di atas syariat dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS al-Jâtsiyah : 18)

Ibnu Mas’ūd radhiyallâhu ’anhu berkata :

الاقتصاد في السنة ، أحسن من الاجتهاد في البدعة

”Bersederhana di dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh (jawa : ngoyo) di dalam bid’ah.” [al-I’tishâm II/65-72].

Beliau juga radhiyallâhu ’anhu berkata :

اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كُفيتم

”Mencontohlah janganlah berbuat bid’ah karena kalian telah dicukupi.” [Majma’uz Zawâ`id I/181].

Islâm adalah agama yang sempurna, tidak butuh lagi kepada penambahan-penambahan, revisi ataupun penilaian dari luar.



Fatwa al-Imâm Ibnu Baz

Ditanya al-Imâm Ibnu Baz rahimahullâh :

”Apa arahan yang mulia tentang peringatan tahun baru dan apa pendapat anda tentangnya?”

Al-Imâm menjawab :

”Perayaan tahun baru adalah bid’ah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dan masuk ke dalam sabda Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

”Barangsiapa mengada-adakan sesuatu di dalam urusan (agama) ini yang tidak ada tuntunannya maka tertolak.” Muttafaq ’alaihi (disepakati keshahihannya) dari hadîts ’Â`isyah radhiyallâhu ’anhâ.

Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam juga bersabda :

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

”Barangsiapa yang mengamalkan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka tertolak.” Dikeluarkan oleh Imâm Muslim di dalam Shahîh-nya.

Nabî ’alaihi ash-Sholâtu was Salâm juga bersabda di tengah khuthbah jum’at :

أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله, وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم, وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة

”Amma Ba’du, Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitâbullâh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallâllâhu ’alaihi wa Sallâm. Seburuk-buruk suatu perkara adalah perkara yang diada-adakah dan setiap bid’ah itu sesat.” Dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahîh-nya.

An-Nasâ`î menambahkan di dalam riwayatnya dengan sanad yang shahîh :

وكل ضلالة في النار

”Dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka.”

Maka wajib bagi seluruh muslim baik pria maupun wanita untuk berhati-hati dari segala bentuk bid’ah. Islâm dengan segala puji bagi Allôh telah mencukupi segala hal dan telah sempurna. Allôh Ta’âlâ berfirman :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

”Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan aku sempurnakan nikmat-Ku serta Aku ridhai Islâm sebagai agama kalian.” (QS al-Mâ`idah :3)

Allôh telah menyempurnakan bagi kita agama ini segala yang disyariatkan baik berupa perintah maupun segala yang larangan dilarangnya. Manusia tidak butuh sedikitpun kepada bid’ah yang diada-adakan oleh seorangpun, baik itu bid’ah perayaan maupun selainnya.

Segala bentuk perayaan, baik itu perayaan kelahiran Nabî Shallâllâhu ’alahi wa Sallam, atau peringatan kelahiran (Abū Bakr) ash-Shiddiq, ’Umar, ’Utsmân, ’Alî, Hasan, Husain atau Fâthimah, ataupun Badawî, Syaikh ’Abdul Qadîr Jailânî, atau Fulân dan Fulânah, semuanya ini tidak ada asalnya, mungkar dan dilarang. Semua perayaan ini masuk ke dalam sabda Nabî, ”setiap bid’ah itu sesat”.

Untuk itu tidak boleh bagi kaum muslimin untuk merayakan bid’ah ini walaupun manusia mengamalkannya, karena perbuatan manusia itu bukanlah dasar syariat bagi kaum muslimin dan tidak pula qudwah (teladan) kecuali apabila selaras dengan syariat. Semua perbuatan dan keyakinan manusia harus ditimbang dengan timbang syar’î yaitu Kitâbullâh dan Sunnah Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam. Apabila selaras dengan keduanya maka diterima dan apabila menyelisihi ditolak, sebagaimana firman Allôh Ta’âlâ :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

”Apabila kalian berbeda pendapat tentang sesuatu hal maka kembalikanlah kepada Allôh (Kitâbullâh) dan Rasūl (hadîts) apabila kalian beriman kepada Allôh dan hari akhir. Yang demikian ini adalah lebih baik akibatnya.”

Semoga Allôh memberikan taufiq dan petunjuk-Nya kepada semuanya ke jalan-Nya yang lurus.

[Fatâwâ Nūr ’alad Darb; kaset no.1]



Kesimpulan

Tidak ragu lagi, dari ulasan singkat dan sederhana di atas, bahwa perayaan Tahun Baru, maupun perayaan-perayaan lainnya yang tidak ada tuntunannya, merupakan :

1.

Bid’ah di dalam agama setelah Allôh menyempurnakannya.
2.

Menyerupai orang kuffâr di dalam perayaan mereka.
3.

Turut menghidupkan syiar dan mengagungkan agama kaum kuffâr.

Allôhu a’lam bish Showâb.

Daftar Bacaan :

*

Al-Bida’ al-Haulîyah, ’Abdullâh bin ’Abdil ’Azîz at-Tuwaijirî. Riyâdh : 1421/2000, Dârul Fadhîlah. Cet. 1.
*

Al-Bida’ al-Haulîyah, ’Abdullâh bin ’Abdil ’Azîz at-Tuwaijirî. Soft Copy dari http://sahab.org.
*

Tahrîmul Musyârokah fî A’yâdil Mîlâd wa Ra`sis Sanah, http://magrawi.net
*

Waqofah Haula A’yâdi Ra`sis Sanah al-Ifranjîyah, Khâlid ’Abdurrahman asy-Syayi’, http://magrawi.net
*

The Two ‘Eids And Their Significance, ‘Abdul Majîd ‘Alî Hasan, Ebook download dari http://theclearpath.com
*

Hukmu A’yâdil Mîlâd, al-‘Allâmah ‘Abdul ‘Azîz bin Baz, http://magrawi.net


download from : www.abusalma.wordpress.com